Category Archives: Tak Berkategori

Profil KH. A. Warson Munawwir (Krapyak Yogyakarta)

Standar

Kamus Sebagai Sumbangsih Khazanah Keilmuan

Wawancara eksklusif dengan KH. Ahmad Warson Munawwir

 

Bagi yang pernah belajar Bahasa Arab pasti akrab dengan Kamus Al-Munawwir, sebuah kamus besar dan monumental di Indonesia. Tetapi tampaknya belum banyak yang mengnal lebih dekat  dengan pengarangnya. Redaksi Majalah Tebuireng mengunjungi Pesantren Krapyak Yogyakarta dan sowan ke Pengasuh yang tak lain ialah pengarang kamus tersebut, yaitu KH. Ahamad Warson Munawir. Berikut hasil wawancara A. Fathurohman Rustandi dengan sosok kiai kharisamatik yang menyebut data kelahirannya pada 22 Sya’ban tahun wawu (70 tahun silam) itu pada hari Ahad, 18 November 2012.

 

 

Sejarah berdirinya Pesantren Krapyak ini?

Tahun 1909 M mulai didirikan Pondok Pesantren Krapyak, dan pada tahun 1910 mulai ditempati mengajar Al-Quran oleh ayah saya, KH. M. Munawwir, beliau adalah seorang kiai yang khusus memperdalam Al-Qur’an sekitar 28 tahun.

Pada waktu itu bersamaan dengan adik ipar Kiai Munawwir, yaitu Kiai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan tanah ayah yang di Kauman itu dihibahkan untuk kegiatan sosial Muhammadiyah kemudian dijadikan SD Muhammadiyah Kauman, kalau di sini tidak pernah ada gesekan antara NU dan Muhammadiyah. Dulu alm.KH. Yusuf Hasyim (Pengasuh Tebuireng) juga mondoknya di sini saya masih menangi (menjumpai) satu kurun satu angkatan dengan kaka saya namanya Zainal Abidin Hamid satu angkatan mengaji dan sekolahnya, itu yang seangkatan KH. Habib Termas, sekitar tahun 1950-an. Saya tidak menangi Mbah Hasyim, pernah tahun 1960-an ada pertemuan ulama se-Indonesia yang dipimpin Mbah Wahab Hasbullah di Pesantren Krapyak, Gus Dur pun dulu ngajinya di sini, dia tinggal di Kauman tapi ngajinya di sini, dia tinggal di Kauman bersama aktivis Muhammadiyah. Ayah saya itu tinggal di Kauman Jogja dulunya sebelum akhirnya mendirikan Pondok Krapyak ini.

 

Bagaimana pengalaman mondok Pak Kiai dahulu?

Saya pondoknya ya hanya di Krapyak, satu-satunya guru saya KH. Aly Maksum itu, pada waktu itu ya hanya di Krapyak ini, dalam perjalanan selama mondok lebih tertarik pada bahasa Arab makanya bisa nyusun kamus Al-Munawwir ini.

 

Bisa bercerita tentang proses penulisan kamus AlMunawwir yang Kiai susun dan telah tersebar di Indonesia ini?

Waktu itu memang orang itu menggunakan kamus Al-Munjid. Ini kan makin hari makin mengalami kesulitan, menurut hemat saya makin mengalami kesulitan kamus yang Arab-arab itu. Dari situ ada inisiatif memberikan sumbangsih dalam khazanah keilmuan, khususnya bahasa Arab, menyusunnya mungkin lebih dari lima tahun. Dikoreksi oleh Kiai Aly Maksum itu saja lama sekali. Mungkin lebih dari lima tahun sejak tahun 1960-an, memang tidak sebentar tapi itulah proses. Makanya untuk para santri juga harus bisa menjalani prosesnya dengan baik.

Saya mulai menyusun kamus Al-Munawwir sekitar tahun 1958 yang Arab-Indonesia.  Waktu saya menyusun kamus itu masih ada Mbah Ali Maksum yang mentashih kamus tersebut sambil tiduran di sini (ruang tamu rumah beliau, red.) sambil dipijiti, lalu saya membacakan perkata dan kalau ada yang kurang pas beliau akan bilang “diganti..diganti..”, Beliau itu kakak ipar saya yang tertua. Sementara untuk yang Arab-Indonesia-Inggris, insyaallah akan terbit, yang menulis anak saya (Gus Fairus). Arab dan Indonesia saya yang susun, kalau inggrisnya anak saya. Sekarang sedang dalam proses percetakan.

 

Bagaimana silsilah keluarga besar  Pak Kiai di Krapyak?

Saya dari keluarga besar, ayah saya KH. M. Munawwir pendiri Pesantren Krapyak. beliau punya lima istri, untuk istri kelima beliau menikahinya sesudah kewafatan istri pertama. Saya ini anak ke 10 dari sebelas saudara kandung. Memang pada waktu itu tradisi pesantren kiai punya istri lebih dari satu tidak ada masalah, apalagi nikahnya setelah wafat istrinya, tapi kalau sekarang bisa rame.

 

Aktivitas Bapak Kiai kini?

Kegiatan sekarang ini hanya mengajar ngaji di pondok saja. Sudah sepuh tidak bisa ke mana-mana lagi, tidak seperti dulu ketika muda. Saya terakhir kali keluar agak jauh ketika takziah ke Almaghfurlah KH. Abdullah Faqih Langitan Tuban. Dengan kondisi usia tua seperti ini saya sudah tidak bisa mengisi pengajian ke luar kota lagi. Padahal ketika muda saya biasa mengisi ngaji  ke mana-mana (tersenyum ramah, ed.)

Profil KH. Yusuf Khudori (Gus Yus) Tegalrejo Magelang

Standar

Dalam perjalanan Magelang-Purworejo, Redaksi Majalah Tebuireng A. Fathurrohman Rustandi dan M. Arief Auly melakukan wawancara Ekslusif dengan KH. Yusuf Khudori yang akrab disapa Gus Yus. Kiai sekaligus Budayawan yang energik ini sebagai salah satu pengasuh Pesantren Tegalrejo, telah sukses membidani Pesantren Entrepreuner (PARTNEUR), tokoh yang lahir di Magelang, 9 Juli 1973 ini juga sebagai pengagum sosok Gus Dur
Apa Aktifitas kiai saat ini?
Kalau aktifitas saya saat ini disamping ikut bantu ngajar di Pesantren, saya juga merintis usaha seperti mengelola radio swasta, dua restoran dan minimarket. Ini juga saya seriusi karena itu juga menjadi semacam modal utama, saya ingin mengajak teman-teman pesantren juga lebih serius di kewirausahaan. Tafaquh fi ad-din memang sudah kewajiban. dan juga saya ceramah , diskusi dan mengisi seminar-seminar.
Apa peran kiai di Pesantren Tegalrejo?
Pengasuhnya kan hari ini kakak saya yang tertua, kiai Mudrik Hudori dengan kiai Hanif itu, saya ikut membantu mengajar, ketepatan saya dipasrahi megang kitab Ihya Ulum Ad-din, Al-Mahali dan ilmu alatnya saya megang Shorof. Dan saya di Yayasan, Tegalrejo ini kan ada dua ya, satu pesantren induk yang murni salaf, tanpa Pendidikan formal, dan satu lagi yayasan yang didirikan kiai Abdurrohman, saya ketepatan ketua yayasannya, itu yang memayungi pendidikan formal dari mulai SD, SMP, SMK dan Sekolah Tinggi namanya Yayasan Subbanul Wathon, berdiri sendiri sebenarnya, tapi isinya sama, orang-orangnya sama, kita sekeluarga sudah sepakat warisannya Kiai Khudori Pesantren Salafi ini harus kita jaga kemurniannya semaksimal mungkin, kalau tuntutan zaman saat ini masyarakat menghendaki sekolah formal kita bikin diluar. Ibarat orang jualan sudah ada spesialisasi, disini jualan soto kalau anda suka silakan datang, kalau anda minta bakso ya di warung sebelah tidak kita campur, jadi disitu pagi sekolah dan sore ngaji, pesantren ini berdiri sekitar sepuluh tahunan, Tegalrejo sendiri berdiri tahun 1944.
Tadi anda mengatakan Wirausaha/entrepreneur, pentingkah santri entrepreneur menurut anda?
Oya jelas penting, karena kesempurnaan Islam itu kalau anda lihat rukun Islam yang lima itu yang tidak butuh biaya apa? Kan Cuma Syahadat, Sholat kita butuh pakaian dan tempat yang bersih dan suci, orang yang berpuasa butuh sahur dan buka, zakat kalau kita ingin sempurna menjadi mukmin kan harus berzakat, itukan mana bisa kalau kita tidak punya duit, apalagi kalau kita mau Haji, itu bukti bahwa sebetulnya ma la yatimmul wajib illa bihi fahua wajibun, apabila ada sesuatu yang wajib tidak bisa terpenuhi dengan sesuatu yang baru maka itu menjadi wajib, dan hari ini santri harus kreatif dan percaya diri bahwa persoalan peluang usaha itu sebetulnya peluangnya sama, antara lulusan Pesantren, lulusan kampus, tinggal tergantung mau ga bekerja serius, kalau bahasa sederhananya kan man jadda wa jada barang siapa yang bersungguh-sungguh maka dialah yang akan sukses, maka Tegalrejo saya merintis ada namanya Pesantren Entrepreneur (Partneur), dan disitu setelah lulus dari Pesantren Salaf sebelum temen-temen pulang kerumah masing-masing kita godok dulu disini 1-3 Bulan, disitu yang terpenting merubah mindsett, manhaj fikrohnya, karena mindsett bisnis itu penting. Nabi muhammad kan seorang pedagang, jadi kalau seorang muslim ga bisa bisnis, berdagang itukan wagu (tidak pantas), berarti ada something wrong dalam meneladani Nabinya, peringatan maulid Nabi ini tidak sebatas akhlakul karimah sebagaimana kanjeng nabi belas kasih terhadap sesama, bagaimana kanjeng Nabi rajin berpuasa, cinta terhadap umatnya. Tetapi etos kerja Rasulullah kanjeng Nabi ini harus kita munculkan, Rasulullah itukan pekerja keras mulai sejak kecil, sejak kecil sudah yatim piatu, umur 10 tahun sudah diajak dagang keliling muter kemana-mana, bahasanya hari ini Rasulullah itu kan sales, jadi anda tidak boleh menyepelekan propesi Sales, sunah Rasul itu, terkadang anak muda saat ini gengsi, Rasulullah menginjak remaja sudah memahami peta perekonomian jazirah Arab.
Dimana Kiai Mondok?
Saya dulu mondok di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Tsanawiyah, Aliyah saya di Lirboyo selama sembilan tahun mulai dari Ibtida, setelah itu saya pindah ke Pondok Salaf desa Tambak Pesantren, Kabupaten Kebumen Jawa Tengah, selama 2 Tahun, setelah dari Kebumen saya pindah ke API Dawuhan Kulon Purwokerto sekitar dua setengah tahun.
Pengalaman Organisasi Kiai?
Saya memang orang yang senang berorganisasi, dari mulai LSM, gerakan anti Narkoba, LSM Kebudayaan, sampai hari ini masih bergaul erat dengan teman-teman budayawan, kita punya Komunitas Lima Gunung disini, Paguyuban seni dan budaya, juga Padepokan Seni dan Budaya, saya terlibat secara aktif disitu, karena saya melihat seni dan budaya itu sebagai salah satu media dakwah dan sosialisasi yang sangat efektif, saya tiap suran (bulan keempat jawa) juga mengadakan festival di Tegalrejo, itu melibatkan budayawan lokal dan Nasional, di Olah raga saya CEO untuk club PPSM di Magelang yang berlaga di divisi utama.
Bagaimana Silsilah Kiai di Tegalrejo?
Untuk di Tegalrejo ini generasi kedua, pendirinya kan Abah (KH. Khudori), Abah sedo (wafat), diganti dengan kakak saya yang paling tua Mbah Dur (KH. Abdurrahman Khudori), Kiai Ahmad Muhammad, kita sebelas bersaudara, setelah kiai Abdurahman dan Kiai Muhammad sedo diganti oleh kakak saya yang nomer delapan, Kiai Mudrik dan Kiai Hanif, jadi sudah tiga kali pengasuh tapi dua generasi, saya putra Ragil (Bungsu)
Bagaimana dakwah efektif menurut anda?
Waja’alu balagoh al-kalami tibaqohu limuktadol maqomi, sampaikanlah dengan kalam-kalam yang baligh, yaitu yang tetap sasaran dan mengena, tidak harus panjang tapi mengena, message-nya nyampe tibaqohu limuktadol maqami, artinya harus tahu situasi dan kondisinya, saat saya berbicara dengan Muslimat NU harus mencoba dengan bahasa ibu-ibu, ketika ke kampus belajar menyesuaikan gaya bahasanya, begitu juga dengan kebudayaan, itu sebetulnya yang diwarisi Rasulullah itu sendiri, Wali Sanga, betapa saya sangat mengagumi wali songo dengan cara dakwah yang membumi. Jadi jangan dimaknai dakwah harus ceramah, pidato, bahkan Al-Qur’an lebih mendahulukan ud’u ila sabili robbika bil hikmah, yang pertama adalah hikmah baru mauidhotil hasanah, hikmah itu sendiri bisa dengan ekonomi, kita tunjukan bahwa santri itu bisa mengelola ekonomi dengan baik, akhirnya masyarakat tertarik masuk ke Pesantren, itukan dakwah juga dengan ekonomi, bisa juga dengan tulisan memberikan pencerahan. Yang terpenting saat ini dengan lisan al-hal afsohu min lisan al- maqol, masyarakat butuh bukti tidak hanya ngomong aja, seperti Gus Dur itu, beliau tidak hanya ngomong Pluralisme tapi beliau menjadi garda terdepan, ada orang yang tertindas Gus Dur siap menjadi benteng, ini yang jarang hari ini, orang pada berani ngomong tapi tidak berani bertindak, kenceng hanya di mimbar tapi dilapangan nol, beliau itu kalau sudah megang komitmen jalani, ada gereja diganggu ya Gus Dur tampil didepan sendiri, meskipun jadi blunder juga.